Sabtu, 19 November 2011

EVENT : Pak, Bu Kembalikan STM Kami

From : brigaspad14imk

Pak, Bu kembalikan STM kami.


Dimana kami pernah merasakan belajar di suatu lembaga yang tidak hanya mengakomodir para siswanya untuk bisa menjawab dengan tepat soal matematika semata. Bukan sekedar menjadi siswa yang dituntut harus mengerjakan soal yang menggunung dengan berbagai cara. Sungguh disayangkan jika sekarang lebih mementingkan hasil daripada proses untuk menjadi bisa.



Saat kami menerima ajaran bahwa yang menentukan manusia untuk bisa survive dalam masyarakat adalah bukan ilmu akademis semata, nilai tinggi, hasil ujian memuaskan. Melainkan kecerdasan emosi yang mengedepankan tentang moralitas. Seperti; etika, empati, keperdulian, kejujuran, solidaritas, kepercayaan, dan kebersamaan. Bahwa sikap seperti itulah yang bisa membuat kami survive di dunia kerja.



Jika kita mementingkan intelektualitas semata tanpa dibarengi dengan prinsip moralitas, lalu apa bedanya kita dengan sekolah lain?, lalu dimana proses penciptaan manusia yang nantinya jadi pemimpin dilingkungan sekitarnya?, lalu apalagi yang bisa kami banggakan mengenai STM?.



Kembalikan STM kami, saat kami benar-benar tidak merasa canggung bergaul dengan guru dan berbagi banyak hal; nonton film dan mendengarkan musik di lab bahasa, mencarikan buku yang pas di perpus, mentraktir mi ayam, pulang bersama, mengajari kami main gitar, bersilaturahmi, atau untuk sekedar mengisi waktu sore hari dirimbunnya pohon beringin sambil berbagi ilmu kehidupan. Kami baru sadar bahwa disitulah proses pengenalan karakter-karakter kita sesungguhnya, disitulah hal-hal yang mampu membuat kita punya ikatan yang lebih dari sekedar proses belajar, disitulah kita mampu membuktikan bahwa ada hubungan lain dari sekedar hubungan 'pengajar-pelajar'.



Saat Bapak dan Ibu sering mengajarkan hal-hal yang menurut kami sangat luar biasa: cara memegang gitar dengan benar, cara agar lulus interview, memberi tahu kami tentang arti serangan balik jika sekolah sebelah mengancam, cara berkomunikasi dengan baik, memperbaiki sepeda motor, agar tidak ketahuan menyontek, cara perlakuan yang baik terhadap teman dan orang tua, cara berimpresi yang baik dengan orang-orang yang kami tidak kenal, cara memposisikan kami di masyarakat.



Dimana Bapak dan Ibu pernah mendukung kegiatan-kegiatan sekolah diluar pembelajaran, kalian pernah bilang bahwa keseimbangan antara belajar dan kegiatan di luar pembelajaran adalah suatu hal yang harmonis yang akan membuat kami menjadi orang-orang berhasil di dunia kerja. ‘Kepemimpinan’ demikian kami menyebutnya.




Kembalikan STM kami, bahwa menjelang akhir tahun dalam acara perpisahan adalah bukan prioritas kami. pun mendaftarkan diri untuk megikuti tes seleksi PTN. Bapak dan Ibu tahu bahwa saat acara akhir tahun kami lebih memilih menyibukkan diri kami di PSG untuk mendaftar sebagai pencari kerja. Kami memilih untuk tidak bersedih di akhir tahun, karena kami tahu bahwa kami akan menjalani kehidupan sebagai orang dewasa sebelum kami mengecap apa yang disebut dengan perguruan tinggi.



Saat Bapak dan Ibu bilang, “kalian akan menjadi manusia-manusia yang mampu mendefinisikan arti dari sebuah tanggung jawab”. Kami hanya terdiam, karena memang kami tidak mengerti apa yang Bapak dan Ibu maksud. Tapi saat ini, -sungguh- kami telah mengerti.



Saat kami ditempa untuk jadi manusia-manusia yang siap bermasyarakat, menjadi tulang punggung keluarga, mencari uang untuk melanjutkan kehidupan kami, menyibukkan diri kami untuk bekerja disaat orang lain masih merengek meminta uang ketika kantong mereka kempis, merelakan diri kami untuk tidak melanjutkan kuliah karena kehidupan yang lumayan ‘brengsek’ ini harus kami jalani.



Kembalikan STM kami, ketika’materi’ sudah menjadi pembicaraan usang, (ah, jadi ingat waktu dulu, salah satu sahabat kami menunggak SPP selama satu tahun), maka jangan heran ketika kami terbiasa dengan kondisi keuangan yang kembang kempis. Kami tidak takut menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan materi. Percaya atau tidak, dulu kami sering berbagi gorengan dengan harga cuma lima ratus rupiah.



Kembalikan STM kami, dimana kami pernah merasakan tempat paling sedehana dalam proses pembelajaran mengenai kehidupan. STM yang penuh dengan orang-orang yang setia akan perjuangan untuk meraih kebahagiaan disaat yang lain memasrahkan diri terhadap keadaan. Orang-orang yang mampu dan siap bersaing dengan hanya bermodalkan keyakinan semata. Orang-orang yang menjadikan diri mereka sebagai aktor utama dalam menjalani kehidupan, yang kadang terlalu berliku untuk dilalui. Orang-orang yang selalu menasehati diri mereka sendiri, mempertanyakan tetang peran mereka dalam masyarakat, berikrar untuk selalu setia terhadap apa yang mereka cita-citakan(walau kadang cuma cita-cita jadi buruh, hehe).Orang-orang yang selalu ikhtiar dalam menjalani kehidupan yang sempit, karena mereka percaya bahwa dengan memaksimalkan proses dan kesempatan yang mereka punya, dapat mendatangkan perubahan dalam kehidupan. Karena mereka percaya bahwa kegagalan dan keberhasilan tergantung dari apa yang mereka perjuangkan. Orang-orang yang lebih memilih menyibukkan diri mereka untuk dapat menemukan jatidiri, bukan hanya untuk menemukan pasangan hidup ketika sekolah.




Saat kami terus berkarya di setiap kegiatan yang membangun prinsip-prinsip kehidupan: tentang memaksimalkan tiap detik yang kami punya, menghargai orang lain, kecintaan terhadap lingkungan, pekerjaan, cita-cita, dan satu lagi –mengenai kedaulatan sekolah negeri-



Saat kami bernego tentang masa depan, yang mungkin kami sudah tahu bahwa kami sendiri tidak punya pilihan: mengikuti keinginan orang tua atau sedikit berpengharapan tentang jejang pendidikan yang lebih tinggi. Saat kami merasa tenang, karena kami merasa yakin bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan oleh kecerdasan intelektual. Walaupun kami tidak pernah berhenti berjuang untuk tetap mencari celah agar kami mampu melanjutkan ke suatu lembaga yang dapat meningkatkan kecerdasan intelektual kami, kuliah misalnya.



Bapak, Ibu…bukan kami ingin menghambat kemajuan jaman yang terjadi, kami hanya ingin menegaskan kembali tentang garis besar perbedaan: bahwa proses pembentukan manusia unggul yang siap terjun di masyarakat, bukan saja dilihat dari apakah dia mampu menyelesaikan soal-soal akademis, nilai memuaskan, tetapi dibutuhkan kecerdasan lain mengenai emosional pribadi manusia itu sendiri, seperti STM dulu.





Teruntuk semua yang pernah mengecap manisnya kehidupan STM.

Tidak ada komentar: