Sabtu, 19 November 2011

EVENT : Aku dan Guruku, Aku dan Mas Maulana

 From : PrincessTatia


Aku dan Guruku, Aku dan Mas Maulana

Guruku bernama Maulana, Maula sendiri seharusnya berarti pemimpin, meski jujur aku tak tau pasti juga. Tapi satu hal yang aku tau pasti adalah guruku, Mas Maulana, adalah seorang pemimpin yang bisa memimpinku. Ya, aku memanggilnya Mas, bukan guru, bukan ustad, bukan kyai.


Ya, beliau adalah guru dalam bidang agama. Dia membimbingku dari nol, dia tetap membimbingku dan tetap mau menjadi guruku meski aku punya hobi pindah-pindah guru. Beliau sabar ketika guru yang lain lebih memilih untuk mengundurkan diri karena diriku yang cenderung malas dan kurang penurut. Menurutku butuh kesabaran tingkat tinggi untuk membimbingku, dan beliau punya itu.


Mas Maulana pelan-pelan menyuruhku sholat duha, menjaga wudhu, menjaga makanan yang kumakan. Setelah kujalankan, beliau pelan-pelan tambahkan pelajaran yang lain, sholat duha, sholat malam, dan sunnah yang lain.


Dulu aku berfikir bahwa Mas Maulana menyukaiku, bagaimanapun juga cara dia memperlakukan aku agak aneh. Kita bukan seperti guru dan murid, kita lebih seperti teman. Tapi seharusnya aku malu mempunyai pemikiran seperti itu. Beliau itu guruku dan aku muridnya, hanya itu saja.


Aku suka cara beliau mengajariku ngaji lewat telefon (baiklah ini memang agak gila). Aku suka cara beliau menyuruhku membaca surat yasin ketika ada orang iseng dan jin yang mengganggu tidurku. Aku suka cara beliau menyuruhku mengaji setiap hari.


Aku juga suka cara beliau menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Aku sendiri punya banyak pertanyaan yang ada di kepala. Kadang pertanyaan yang berbobot, dan lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang menurutku agak gila.


Aku suka jawaban-jawaban Mas Maulana. Aku suka jawabannya ketika aku bertanya, apa aku harus pakai cadar? Jujur waktu itu aku memang ingin total menjadi seorang muslimah, aku ingin kaffah. Aku suka jawabannya bahwa cadar adalah budaya, bukan tuntunan syariah.


Aku suka jawabannya ketika aku bertanya boleh tidak pergi tanpa muhrim? Karena banyak orang diluar sana yang berkata perempuan kalau keluar harus bersama muhrim. Itu sangat menyulitkan dan menyakitkan. Bagaimana bisa diriku yang tak punya ayah dan jauh dari saudara pergi kemana-mana dengan muhrim? Bagaimana bisa?


Aku suka jawabannya yang hanya mengharuskan aku hanya pamit ke orang yang ada di rumah, bisa nenek, bisa kakek, bisa ibu, bisa tante, bisa siapa saja. “Ah, ini lebih masuk akal”, pikirku.


Aku juga suka jawabannya ketika aku bertanya apakah suara perempuan itu termasuk aurat. Menurutku jawaban-jawaban Mas Maulana benar dan lebih bisa diimplementasikan ke kehidupan sehari-hariku daripada jawaban orang-orang yang pandai agama lainnya.


Selain Mas Maulana sebenarnya ada guru yang lain, Pak Ustad Saiful. Janganlah menyalah artikan kalau ustad berarti guru agama. Sebenarnya ustad sendiri adalah bahasa arab dari guru. Jadi seharusnya guru apa saja bisa disebut ustad, iya kan?


Pak Saiful adalah guru dari Mas Maulana, kadang aku berhubungan langsung dengan Pak Saiful, tapi lebih sering tidak. Pak Saiful yang ada di Malaysia begitu sulit kuhubungi. Dulu, media aku dan Pak Ustad Saiful bertegur-sapa adalah thread di kaskus, forum pribadi, skype, dan YM.


Tapi thread di kaskusnya sudah beliau tinggalkan, forumnya tinggal kenangan, skypenya entah idnya apa, ym yang lama sudah di hack pula. Jadi dirku kosong tak bertuan.


Dulu aku pernah membaca seorang kaskuser yang posting bahwa ditinggalkan guru bisa jadi karena kita sudah dianggap bisa dilepas. Seperti seorang bayi yang awalnya dituntun, didampingi, ketika dia sudah bisa berjalan tidak seharusnya kan masih dituntun? Begitu juga guru. Ketika kita sudah dianggap mumpuni, kita juga akan dilepas.


Tapi jujur aku merasa aku belum bisa dilepas, aku masih membuat banyak dosa, sholat sunnah ku entah sekarang kemana, kadang ada kadang tiada, sholat tahajudku parah, menjaga makanan? Apa pula.
Aku masih menjadi sampah ketika yang lain sudah menjadi berlian. Aku masih belum bisa apa-apa ketika yang lain sudah berjalan dengan lancarnya.


Agama untukku adalah hal yang krusial. Aku mencarinya sudah lama, mungkin sejak kecil. Sejak kecil juga aku pindah-pindah guru. Pindah-pindah guru ngaji, pindah-pindah guru agama. Dari mereka yang mengajarkan hal yang banyak orang anggap sebagai bid’ah, sampai belajar pada orang Muhamadiyah. Belajar pada orang yang menganggap sunnah adalah sampah, belajar pada orang yang ingin mendirikan negara khalifa Islamiyah, belajar pada orang yang mengaggap mengajiku bagus, belajar pada orang yang menganggap skill ngajiku seperti anak TK. Aku sudah terbiasa dengan semua itu.


Aku juga sudah terbiasa dianggap tidak bisa, dianggap bisa, diaanggap tidak layak, dianggap layak. Entahlah, aku hanya merasa beruntung mengenal Pak Ustad Saiful dan Mas Maulana pada akhirnya.


Akhir dimana Insya Allah aku sudah memilih guru yang benar. Bukan guru yang membenci mazhab-mazhab tertentu, bukan guru yang menyuruhku membenci nabiku sendiri, bukan guru yang menyuruhku mendukung pembentukan negara Islam Indonesia, bukan guru yang menyuruhku menunjuk nunjuk ini bid’ah itu bid’ah, bukan guru yang mengatakan Islam aliran ini benar yang itu salah. Mereka adalah guru yang membuka mataku bahwa Islam itu Indah. Aku Islam dan aku beriman. Aku Islam dan aku menyayangi kalian. Menyayanyi yang Nasrani, menyayangi yang Budha, menyayangi yang Hindu, menyayangi Islam yang beraliran lain, menyayangi mereka yang tidak punya agama.


Ya, Islam itu indah dan kami akan menyebarkannya. Maksudku, aku akan menyebarkannya. Bukan menyebarkan dengan “Hei, sini lo masuk Islam. Agama gue yang bener” , bukan, aku bahkan takkan menyuruhmu masuk agamaku, aku takkan menyuruhmu mempelajari agamaku, aku takkan menyuruhmu mengikuti aliranku, aku takkan menyuruhmu berkata bahwa agamaku yang benar. Karena lakumdinukum waliyadin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku, untukmu agamamu dan untukku agamaku, untukmu aliranmu dan untukku aliranku, untukku kepercayaanku dan untukmu kepercayaanmu. Aku adalah aku dan kamu adalah kamu. Kita berbeda dan karena itulah Indonesia Indah. Perbedaan itu indah jadi kenapa harus jadi sama?


Terimakasih untuk guruku, Pak Ustad Saiful dan Mas Maulana yang sudah mengajariku bagaimana menerima perbedaan, terimakasih juga telah mengajariku bagaimana cara melihat dunia. Dunia yang indah dengan merubah cara pandang kita, cara pandang kita melihat dunia yang berbeda menjadi indah. Karena untuk itulah kita ada. Melihat perbedaan dengan kacamata Tuhan. Tuhan saja merasa baik-baik saja dengan perbedaan yang Dia buat di dunia, jadi kenapa kita tidak merasa baik-baik saja juga?

Tidak ada komentar: